
“Hintuvu katuvua” yang mengandung arti hidup selaras dengan alam, dan antarmanusia, menjadi falsafah hidup yang dipegang teguh oleh masyarakat di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah sejak dulu dan masih terus dipertahankan hingga kini. Wilayah Sigi yang 70 persennya diselimuti hutan, dengan alam yang megah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat.
Tidak jauh dari pusat kota Sigi, terdapat hutan Ranjuri, hutan purba yang telah ada di wilayah Desa Beka selama beratus-ratus tahun. Hutan seluas 12 hektar dengan tegakan pepohonan yang kokoh terbukti menjadi ekosistem pelindung Desa Beka dari bencana banjir dan longsor. Keberadaan hutan ini menjadi penentu kelangsungan hidup Desa Beka.
“Ketika Sigi dilanda hujan lebat dan terjadi banjir, bebatuan besar dan pasir-pasir yang terbawa aliran air tertahan Hutan Ranjuri, sehingga desa kami terlindungi. Makanya hutan ini punya arti penting sekali bagi kami, sebagai pelindung,” ucap Firdaus, Ketua Kelompok Pemuda Pemerhati Ranjuri.
Tak hanya berperan sebagai pelindung dari bencana, masyarakat Desa Beka juga menggantungkan hidupnya pada Hutan Ranjuri. Hutan yang sehat dan dijaga menjadi area resapan air, yang melahirkan mata air yang mengalir dan menjadi sumber air masyarakat, juga memenuhi kebutuhan mulai dari mencuci, mandi, hingga sumber air minum. Dalam hutan ini terdapat puluhan mata air yang dikelola dan dijaga dengan baik secara turun temurun.
Dalam hutan purba ini juga masih berdiri tegak jenis pohon khas Sulawesi Tengah yang memiliki kedekatan terhadap identitas masyarakat di Kabupaten Sigi, yakni pohon kaili (Dracontomelon mangiferum). Kaili sendiri merupakan nama salah satu suku terbesar yang ada Sulawesi Tengah, termasuk yang hidup di dataran Sigi. Dilansir Mongabay Indonesia, Iksam Djorimi, seorang arkeolog sekaligus Wakil Kepala Museum Sulawesi Tengah mengatakan bahwa semua jalur yang ditumbuhi pohon-pohon besar di Hutan Ranjuri, termasuk pohon kaili, terdapat mata air dan dilindungi oleh hukum adat.
Kehadiran Hutan Ranjuri sebagai pelindung dan bagian dari identitas masyarakat Sigi, khususnya Desa Beka, menginspirasi para seniman yang ada di kabupaten ini. Pengrajin Galeri Batik Valiri yang membuat motif Hutan Ranjuri. Batik yang khusus menggunakan pewarna alami, yang mana bahan pewarnanya diambil langsung dari keanekaragaman hayati yang ada di dalam Hutan Ranjuri.
Menyadari pentingnya menjaga kelestarian Hutan Ranjuri, masyarakat Sigi bergotong royong melindungi ekosistem penting di sebelah Desa Beka ini. “Hutan Ranjuri ini merupakan sesuatu yang akan didorong penguatan komitmennya, mulai dari tingkat masyarakat, pemerintah desa, hingga pemerintah daerah, sehingga keberadaannya tetap terjaga dan dapat mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat,” ucap Mohammad Afit Lamakarate, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sigi.
Semangat bahu membahu menjaga kelestarian Hutan Ranjuri nyatanya tak hanya dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Sigi. Hal ini tercermin dari salah satu program yang diinisiasi oleh mitra Lingkar Temu Kabupaten Lestari, Jejak.in yang mengembangkan program adopsi pohon di Hutan Ranjuri, Desa Beka pada tahun 2023. Dalam program ini, Jejak.in berkolaborasi dengan Gojek, mengumpulkan dana individu melalui program Gorengan dan GoGreener Pohon Kolektif.
Adanya inisiatif ini diharapkan dapat mendukung pengelolaan hutan yang lebih baik dan dapat memberdayakan masyarakat Desa Beka seperti menjadi petugas patroli, pos keamanan, serta dapat membantu UMKM sekitar sehingga perekonomian pun dapat meningkat. Implementasi program ini pun dapat menjadi salah satu contoh praktik perekonomian berbasis lingkungan yang tidak merusak alam, dapat mendukung upaya mitigasi bencana, dan juga memberdayakan masyarakat serta orang muda di kabupaten.